EDISI : SAAT REALITA
HIDUP MULAI SINGGAH
HIDUP YANG SEMAKIN
SULIT ATAU KITA YANG MULAI
MENJAUH DARI AGAMA
Fakta yang sulit untuk dibantah karena kenyataan memang berbicara
demikian, beberapa kalangan merasakan hal itu. Harga-harga terus merangkak
naik, kebutuhan-kebutuhan hidup semakin mahal bahkan terkadang langka. Lapangan
pekerjaan semakin sempit kerena diperebutkan oleh banyak orang, sudah sempit
yang menginginkannya banyak lagi, mencari uang tidak mudah, giliran dapat, uang
di tangan, dengan mudah ia melayang karena harus dipakai untuk menutupi ini dan
itu.
Penulis tidak membeberkan fakta lapangan dalam hal ini karena
pembaca bisa melihat atau mendengar sendiri secara langsung. Penulis juga tidak
akan mengulas masalah ini dengan kaca mata ekonomi, karena penulis bukan
seorang ekonom. Yang paling penting bagi Penulis secara pribadi sebagai muslim dan
untuk pembaca adalah mengkaji masalah ini dari sudut pandang agama. Mengapa
sampai terjadi seperti ini?. Apa jawabannya ditilik dari sudut pandang agama?.
Sebagai seorang muslim, sudut pandang agama dalam menimbang sesuatu adalah lebih
penting daripada yang lain, perkara yang lain hanyalah akibat atau imbas dari
sudut ini.
Dari sisi pandang agama, penulis melihat kesulitan hidup yang
menimpa bisa terjadi karena berbagai macam sebab, di antaranya:
Minim Takwa
Takwa berarti menjaga diri dari azab Allah dengan menaati-Nya.
Karena orang yang bertakwa adalah orang yang dekat kepada Allah, mempunyai
kedudukan tinggi di hadapan-Nya, memiliki derajat terhormat di mata-Nya, maka
tidak mengherankan jika Allah SWT care (memperhatikan) kepadanya. Dia akan
memudahkan hidupnya, melapangkan pintu rizkinya, melindunginya dari marabahaya,
mengentaskannya dari kesulitan dan menghilangkan kesedihannya, sehingga
kehidupannya menjadi kehidupan yang tenang, tenteram dan berhagia.
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan
mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3). Dua janji mulia dari Allah kepada orang
yang bertakwa, jalan keluar, solusi, problem solving dari apa? Dari apa yang
kita ingin keluar darinya, dari kesulitan hidup, dari mahalnya harga-harga,
dari kemiskinan dan dari… dari yang lainnya. Ibnu Abbas berkata, “Dari segala
kesulitan dunia dan akhirat.” Ini satu. Kedua, rizki yang tidak terduga, rezki
nomplok kata orang, tidak terbayang di benak, tidak terlintas dalam pikiran,
tiba-tiba ia datang menghampiri.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah-berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96). Perhatikanlah,
“Barakaat.” dengan kata jamak yang menunjukkan jumlah besar, di samping itu
kata ini mengandung makna kebaikan, artinya apa yang Allah buka untuk mereka
membawa kebaikan bagi mereka, di samping itu kata ini mengandung tetapnya
kebaikan itu dan kelanggengannya, tidak mudah dicabut. Perhatikanlah, “Dari
langit dan bumi.” Ini berarti ia mengalir dan mengucur dari segala arah. Rizki
yang datang dari atas turun dan yang datang dari bawa pun muncul, kemakmuran
merambah segala segi, kehidupan menjadi mudah dan keberkahan mengelilingi.
Minim Syukur
Syukur adalah mengakui nikmat dari Allah dengan hati dan
lisan dan membuktikannya dengan perbuatan. Siapa yang tidak mengakui nikmat
dari Allah dengan hatinya maka dia belum bersyukur. Siapa yang mengakui dengan
hatinya namun menolak mengungkap dengan kata-kata maka dia belum bersyukur.
Siapa yang mengakui nikmat dengan hatinya dan mengungkapkan dengan kata-katanya,
namun dia tidak membuktikannya dengan perbuatan maka dia belum bersyukur.
Lawan syukur adalah kufur (nikmat), kufur nikmat ini mencabut
dan melenyapkannya, bahkan terkadang tidak terbatas pada mencabut dan
melenyapkan, ia bisa lebih dari itu yaitu mendatangkan dan menghadirkan, maksud
penulis azab dan murka dari Allah Ta'ala. Sejarah membuktikan apa yang penulis
katakan. Qarun dengan kemewahannya, akhirnya amblas ditelan bumi karena
kekufurannya terhadap nikmat Allah. Tiga orang laki-laki Bani Israil, orang
yang terkena penyakit lepra, orang botak dan orang buta, semuanya disembuhkan
oleh Allah lalu diberi harta kesukaannya yang akhirnya berkembang melimpah,
namun dua orang pertama tidak lulus ujian, alias tidak punya syukur, maka Allah
mencabut apa yang telah Dia berikan dan mengembalikan mereka seperti sediakala.
Bangsa Saba` dengan negeri yang makmur, bumi yang subur,
hidup berkalang nikmat, hal ini berbalik seratus delapan puluh derajat manakala
mereka berpaling dari Pemberi nikmat “Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda
(kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah
kanan dan di sebelah kiri. Kepada mereka dikatakan, ‘Makanlah olehmu dari rizki
yang dianugerahkan Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepadaNya. Negerimu adalah negeri
yang baik dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Pengampun.’ Tetapi mereka
berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan kami ganti
kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah
pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan
kepada mereka karena kekafiran mereka dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang
demikian itu) melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Saba`:
15-17).
Bukti-bukti sejarah dari al-Qur`an dan sunnah serta realita
kehidupan berjumlah besar dalam hal ini, kalau kita menyinggungnya satu demi
satu niscaya halaman ini menjadi panjang lebar, apa yang disebutkan sudah
mewakili yang lain. Yang penting dan perlu diingat adalah bahwa minim syukur
membuat hidup ini semakin kabur alias tidak jelas dan sulit. Sebaliknya
sebaliknya. Mahabenar Allah Ta'ala yang telah berfirman, "Sesungguhnya
jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu akan tetapi jika
kamu mengingkari (nikmatKu) maka sesungguhnya azabKu sangat pedih."
(Ibrahim: 7).
Realita kehidupan kita secara umum masih menunjukkan minim
syukur kalau tidak kufur, banyak bukti yang menguatkan hal ini. Sebagian besar
dari kita tidak pernah terlintas di benaknya pada saat dia mendapatkan rizki
atau anugerah dari Allah bahwa hal itu semata-mata pemberianNya. Sebagian besar
dari kita ketika mendapatkan rizki dan kemudahan hidup tidak menggunakannya
dalam rangka meraih ridha Allah sebagai Pemberi, justru sebaliknya dia
menggunakannya untuk hal-hal yang mengundang murkaNya, berfoya-foya,
menghambur-hamburkan dan menyiakan-nyiakannya. Sikap seperti inilah yang
membuat hidup semakin sulit. Seandainya orang-orang yang dilimpahi kenikmatan
oleh Allah itu sedikit mau bersyukur dengan menggunakan hartanya demi kebaikan
niscaya hidup ini akan lebih mudah dan lebih ringan.
Minim Tawakal
Tawakal menurut Imam al-Ghazali adalah menyandarkan hati
hanya kepada al-Wakil (yang ditawakali), yaitu Allah. Penulis menambahkan,
dengan mengikuti atau mengambil sebab-sebabnya. Jadi dalam tawakal terdapat dua
sisi di mana tawakal belum sempurna tanpa keduanya. Penyandaran hati kepada
Allah dan mengambil sebab-sebab. Menyandarkan hati saja tanpa mengambil
sebab-sebab bukan tawakal akan tetapi kelemahan. Mengambil sebab-sebab semata
dengan tidak menyandarkan hati kepada peletaknya bukan tawakal akan tetapi
keangkuhan. Seorang muslim yang baik jangan menjadikan kelemahannya sebagai
tawakal, dan tawakalnya sebagai kelemahan, jangan menjadikan keangkuhannya
sebagai tawakal dan tawakalnya sebagai keangkuhan.
Dalam wacana kehidupan, yang banyak terjadi adalah lemahnya
atau minimnya sisi penyandaran diri kepada Allah Ta'ala, di mana orang-orang
hanya menengok kepada sebab-sebab dan menjadikannya sebagai pegangan, yang
dibahas dalam forum-forum adalah sekedar teori, penulis tidak antipati dengan
hal itu, namun menurut hemat penulis apalah arti dari semua itu jika
orang-orangnya berhati kosong dari tawakal dan bersandar kepada Allah? Ini yang
terlihat. Alangkah bagusnya jika tawakal ini benar-benar diwujudkan dalam arti
yang sebenarnya, ia akan mengurai banyak benang kusut yang tidak jelas ujung
pangkalnya.
“Sungguh, seandainya kamu bertawakal kepada Allah dengan
sebenar-benarnya, niscaya kamu akan diberi rizki seperi burung itu diberi
rizki, ia pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan
kenyang.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Yang jelas apa yang penulis paparkan merupakan janji dari
Allah dan Allah tidak menyelisih janjiNya, kalau pun belum terwujud maka
tengoklah diri sendiri, karena di sana pasti terjadi ketimpangan dalam takwa
atau sukur atau tawakal sehingga janjiNya belum terwujud. Wallahu a'lam.
Minim Taubat
Hal ini berarti banyak maksiat dan dosa, otomatis dan jelas,
karena jika taubat melimpah dalam jumlah besar niscaya dosa dan maksiat
menurun, sebaliknya adalah sebaliknya. Jika taubat menghadirkan kelapangan dan
kemudahan hidup, maka dosa dan maksiat mendatangkan kesempitan dan kesengsaraan
hidup. Kesulitan dan kesusahan yang menimpa suatu masyarakat bisa hadir melalui
pintu dosa-dosa. Jika kemungkaran mewabah, kemaksiatan merajalela maka Allah
Ta'ala akan murka, akibatnya kesulitan dan kesempitan hidup bisa menjadi sebuah
hukuman dariNya.
Perhatikan ucapan Nabi Nuh alaihis salam kepada kaumnya,
“Maka aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya
Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat
dan menambahkan harta dan anak-anakmu serta mengadakan untukmu kebun-kebun dan
mengadakan pula di dalamnya untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12).
Janji kemakmuran dan kemudahan hidup begitu kentara dari
balik permohonan ampun kepada Allah. Pertama, hujan lebat, deras dan melimpah
sehingga sungai mengalir, telaga melimpah dan bendungan penuh, semua itu multiguna
bagi kemudahan hidup manusia. Kedua, tambahan harta dan anak-anak sebagai tanda
kemakmuran. Ketiga, kebun sebagai penghasil bahan makanan pokok dan sungai
sebagai penopang bagi kebun. Penulis yakin jika ketiga perkara ini terwujud
pada sebuah masyarakat maka taraf kehidupan masyarakat tersebut
berangsur-angsur membaik dan selanjutnya menjadi masyarakat yang makmur.
Asy-Sya’bi berkata, “Umar bin al-Khatthab keluar meminta
hujan bersama orang-orang, dan dia tidak lebih dari mengucapkan istighfar, setelah
itu dia pulang, seseorang berkata kepadanya, ‘Aku tidak mendengarmu memohon
hujan.’ Umar menjawab, ‘Aku memohon diturunkannya hujan dengan kunci-kunci
langit yang dengannya hujan diharapkan turun.’ Lalu Umar membaca ayat di atas.
Imam al-Qurthubi menyebutkan tentang al-Hasan al-Bashri,
bahwa seorang laki-laki mengadukan kekeringan kepadanya, maka dia berkata,
“Perbanyaklah istighfar.” Lalu datang laki-laki kedua mengadukan kesulitan
hidup, maka dia berkata, “Perbanyaklah istighfar.” Lalu datang laki-laki ketiga
mengadukan kemandulan, maka dia berkata, “Perbanyaklah istighfar.” Maka seorang
hadirin berkata kepadanya, “Orang-orang itu mengadukan perkara-perkara yang
tidak sama namun jawaban Anda hanya satu.” Dia berkata, “Aku tidak menjawab
dari diriku sendiri, akan tetapi Allah telah berfirman.” Maka al-Hasan membaca
ayat di atas.
Kisah ini juga diriwayatkan dari cucu Nabi saw al-Hasan bin
Ali semoga Allah meridhainya.
Nabi saw bersabda, “Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon
ampun kepada Allah) niscaya Allah memberikan jalan keluar dari setiap
kesedihan, solusi dari setiap kesempitan dan Dia memberinya rizki dari arah
yang tidak terduga.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim,dan dia menshahihkannya. Syaikh
Ahmad Syakir dalam tahqiq al-Musnad IV/55 berkata, “Sanadnya shahih.”)
Minimnya taubat atau berkurangnya istighfar yang berarti
menjamurnya dosa-dosa adalah fenomena yang merebak di sekeliling kita. Hampir
tidak ada sisi kehidupan yang steril dari penyimpangan dan pelanggaran. Bahkan
dalam beberapa kondisi pelanggaran sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Yang
ma’ruf menjadi mungkar dan yang mungkar menjadi ma’ruf. Kalau sudah begini
kesulitan hidup rasanya sulit untuk terangkat.
Minim Perhatian
Terhadap Agama
Kurangnya perhatian kepada agama dan hal-hal yang berkaitan
dengannya, dakwah dan pendidikan agama, perjuangan Islam dan kaum muslimin bisa
menjadi penyebab kesulitan hidup. Pemilik agama, Allah Ta'ala memperlakukan
kita seperti kita berperilaku kepadaNya. Jika kita tidak menolong agamaNya,
tidak memperjuangkannya, tidak membelanya, tidak perhatian kepadanya, tidak
mendukungnya maka Allah Ta'ala tidak akan menaungi kita dengan pertolongan dan
rahmatNya, dalam kondisi demikian tidak mengherankan kalau hidup terasa berat
dan sukit. Perhatian dari Allah Ta'ala mungkin diraih dengan memberikan
perhatian kepadaNya. Kita menolong Allah maka Allah menolong kita. Dengan itu
hidup berubah menjadi ringan dan mudah. “In tanshurullaha yanshurkum.”
(Muhammad: 7).
Di antara bentuk perhatian yang bisa kita berikan kepada
agama Allah,
Infak di jalanNya
Menyisihkan sebagian rizki halal pemberian Allah untuk
dibelanjakan di jalan-jalan kebaikan demi menolong agama Allah. Infak di jalan
Allah, karena ia merupakan bukti perhatian kepada agama Allah, mengundang
perhatian dari Allah dengan memberi ganti yang sepadan bahkan lebih baik, lebih
banyak dan lebih berkah.
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan
menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (Saba`: 39). Janji
penggantian dari Allah terhadap apa yang diinfakkan terwujud jika infak
dilaksanakan, dan penggantian dalam konteks ini bisa dengan yang sebanding dan
bisa pula dengan yang lebih baik, yang kedua ini lebih sering. Jika pembicaraan
dibalik maka hasilnya, orang yang tidak berinfak tidak meraih penggantian
sekalipun hartanya lenyap, sedangkan orang yang berinfak, hartanya lenyap
tetapi meraih penggantian. Perkara lenyapnya atau habisnya harta adalah perkara
pasti, dunia termasuk harta tidak ada yang abadi. Silakan pilih, lenyap tanpa janji
diganti atau lenyap dengan janji diganti?
Harta yang kita pegang sejatinya adalah bukan harta kita, ia
sekedar pinjaman, pemilik sejatinya adalah Allah Ta'ala, jika pemilik sejatinya
memberikan jaminan akan mengganti jika kita membelanjakannya di jalanNya, lalu
mengapa hati kita terasa berat melaksanakannya, di samping harta itu bukan hak
milik kita?
“Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman, ‘Wahai Bani Adam,
berinfaklah niscaya Aku berinfak kepadamu.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Anda berharap Allah Ta'ala berinfak (memberi rizki) kepadamu,
syaratnya mudah, berinfaklah di jalanNya dan Dia menjanjikan hal itu. Mudah
bukan? Seorang hamba berinfak di jalan Allah lalu Allah pemegang perbendaharaan
langit dan bumi, pemilik hak atas segala sesuatu akan berinfak kepadanya.
Dijamin.
“Tidaklah para hamba mendapatkan pagi hari kecuali padanya
terdapat dua malaikat yang turun. Salah satunya berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah
pengganti kepada orang yang berinfak.’ Sedangkan yang lain berkata, ‘Ya Allah,
berikanlah kebinasaan harta kepada orang yang menahan.”
Penulis yakin jika Anda seorang muslim, Anda pasti tidak
berkenan mendapatkan doa dari malaikat yang kedua.
Sebuah kenyataan yang memprihatinkan, manusia lebih antusias
membelanjakan hartanya buka di jalan Allah tetapi di jalan setan. Bandingkan,
betapa sulitnya mengumpulkan rupiah untuk menafkahi sebuah madrasah atau
menyelesaikan pembangunan sebuah masjid, tetapi pada saat yang sama betapa
mudahnya orang mendapatkan uang untuk konser musik atau untuk menyelesaikan
gedung sandiwara.
Perhatian kepada
ilmu syar'i
Ilmu syar'i atau ilmu agama, mempelajarinya dan
mengajarkannya adalah salah satu bentuk perhatian kepada agama Allah, dengan
ilmu syar'i agama akan tegak dan terjaga, para thullabul ilmi dan para ulama berperan
sangat vital dalam hal ini, tanpa ilmu syar'i agama akan layu dan
terpinggirkan, berganti dengan kebodohan dan ketidaktahuan.
Ilmu memerlukan dukungan biaya dan dana, tanpanya ia berjalan
di tempat alias tidak berkembang, para penyandangnya juga memerlukan hidup,
hasil maksimal bisa diwujudkan jika sesuatu pekerjaan diberi perhatian dan
konsentrasi penuh, agar para penuntut ilmu dan para ulama bisa fokus sepenuhnya
kepada tugasnya, maka diperlukan pihak-pihak penopang finansial mereka,
dibutuhkan para muhsinin yang menunjang aktifitas mereka dan para muhsinin
tersebut meraih peluang kemudahan dan kelapangan hidup.
Imam at-Tirmidzi dan al-Hakim meriwayatkan dari Anas bin
Malik bahwa pada zaman Rasulullah saw ada dua laki-laki bersudara. Salah seorang
dari mereka mendatangi Nabi saw (untuk belajar), sedangkan yang lain bekerja.
Saudara yang bekerja mengadu kepada Nabi saw maka Nabi saw bersabda,
“Mudah-mudahan kamu diberi rizki karenanya.” Maksud hadits ini, kamu bekerja
dan saudaramu menuntut ilmu, kamu menafkahi saudaramu, tidak menutup
kemungkinan rizkimu dari pekerjaanmu itu adalah berkah dari apa yang kamu
nafkahkan kepada sudaramu yang menuntut ilmu itu.
Abdullah bin al-Mubarak selalu mengkhususkan pemberiannya
kepada para pemerhati ilmu syar'i, suatu hari dia ditanya, “Mengapa engkau
tidak memberikannya kepada orang-orang umum?” Dia menjawab, “Aku tidak
mengetahui kedudukan setelah kenabian yang lebih utama daripada kedudukan para
ahli ilmu. Jika hati para ahli ilmu itu sibuk mencari kebutuhan hidupnya,
niscaya dia tidak bisa memberi perhatian kepada ilmu sepenuhnya dan tidak bisa
belajar dengan baik. Memberi mereka membuat mereka bisa mempelajari ilmu dengan
sepenuhnya dan itu lebih utama.”
Dewasa ini peluang meletakkan kebaikan di lahan ilmu syar'i
sangat terbuka lebar, kecenderungan masyarakat kepadanya cukup menggembirakan,
lembaga-lembaga yang menanganinya bermunculan, mereka semua memerlukan
perhatian finansial. Jika Anda berminat dan bertindak maka pintu kemudahan dan
celah kemakmuran akan terbuka dalam hidup Anda. Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat khususnya bagi penulis dan untuk pembaca
@ Berbagai Nara Sumber