Ada sekelumit kisah nyata yang pernah terjadi pada sebagian bangsa ini yang mungkin kita telah lupa. Dan sayangnya, peristiwa yang penuh dengan pelajaran ini sama sekali tidak disinggung-singgung sedikit pun di dalam buku pelajaran di sekolah. Kita dan anak-anak kita tidak pernah tahu jika ada suatu desa yang penduduknya nyaris sama dengan kaum Sodom-Gomorah, senang bermaksiat, yang terkubur seluruhnya dalam satu malam hingga tidak bersisa. Satu desa bersama seluruh penduduknya lenyap dalam satu malam tertutup puncak sebuah gunung yang berada agak jauh dari lokasi desa itu.
Inilah kisah tentang
Dukuh Legetang, yang masuk dalam wilayah Banjarnegara, Jawa Tengah. Kejadiannya
di tahun 1955.
Pada saat itu, Dukuh
Legetang yang terletak di Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara,
merupakan sebuah dukuh yang makmur. Berbagai kesuksesan di bidang pertanian
menghiasi kehidupan dukuh (desa) itu.
Penduduknya cukup makmur
dan kebanyakan para petani yang cukup sukses. Mereka bertani sayuran, kentang,
wortel, kobis, dan sebagainya.
Berbagai kesuksesan
duniawi yang berhubungan dengan pertanian menghiasi dukuh Legetang. Misalnya
apabila di daerah lain tidak panen tetapi mereka panen berlimpah. Kualitas buah
dan sayur yang dihasilkan juga lebih baik dari yang lain.
Namun bukannya mereka
bersyukur, dengan segala kenikmatan ini mereka malah banyak melakukan
kemaksiatan. Barangkali ini yang dinamakan “istidraj” atau disesatkan Allah
dengan cara diberi rezeki yang banyak namun orang tersebut akhirnya makin
tenggelam dalam kesesatan.
Masyarakat Dukuh
Legetang umumnya ahli maksiat. Perjudian di dukuh ini merajalela, begitu pula
minum-minuman keras. Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger, sebuah
kesenian tradisional yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang sering
berujung kepada perzinaan. Ada juga anak yang malah melakukan kemaksiatan
bersama ibunya sendiri. Beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di
dukuh ini.
Pada suatu malam, 17
April 1955, turun hujan yang amat lebat di dukuh itu. Tapi masyarakat Dukuh
Legetang masih saja tenggelam dalam kemaksiatan. Barulah pada tengah malam
hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara keras seperti sebuah bom besar dijatuhkan
di sana, atau seperti suara benda yang teramat berat jatuh. Suara itu terdengar
sampai ke desa-desa tetangganya. Namun malam itu tidak ada satu pun yang berani
keluar karena selain suasana teramat gelap, jalanan pun sangat licin.
Pada pagi harinya,
masyarakat yang ada di sekitar Dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang
amat keras itu barulah keluar rumah dan ingin memeriksa bunyi apakah itu yang
terdengar amat Cumiakkan telingan tadi malam. Mereka sangat kaget ketika di
kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah terbelah, rompal. Dan
mereka lebih kaget bukan kepalang ketika melihat Dukuh Legetang sudah tertimbun
tanah dari irisan puncak gunung tersebut. Bukan saja tertimbun tapi sudah
berubah menjadi sebuah bukit, dengan mengubur seluruh dukuh beserta warganya.
Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah, kini sudah menjadi sebuah gundukan
tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati. Gegerlah kawasan Dieng…
Seperti diceritakan oleh
salah satu saksi hidup peristiwa ini, Toyib (71) ‘’Suara ‘guntur ’-nya (sebutan
longsor di daerah setempat) itu sampai terdengar ke rumah saya. Padahal, rumah
saya Desa Kepakisan,’’ kisah Toyib yang saat peristiwa itu berusia 11 tahun.
Lanjut Toyib, akan tetapi karena gelapnya malam dan hawa dingin menusuk tulang,
membuat warga yang mendengar suara mengejutkan itu tidak berani keluar rumah
untuk memeriksanya.
Baru esok paginya
diketahui, ternyata suara itu berasal dari longsoran lereng sisi tenggara
Gunung Pengamun-amun yang tepat menimpa Dukuh Legetang. Dari kejauhan terlihat
puncak Gunung Pengamun-amun sudah ‘rompal’ (Jw. Terbelah).
Bukan saja tertimpa tapi
juga berubah menjadi sebuah bukit yang mengubur seluruh dukuh beserta warganya.
Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah, kini berubah menjadi gundukan tanah
menyerupai bukit.
Menyadari peristiwa itu,
sontak masyarakat di sekitar Dukuh Legetang terkejut. Kemudian banyak yang
berteriak ‘Legetang guntur !’, situasi saat itu menjadi ramai dan membuat
masyarakat berbondong-bondong untuk melihat lokasi kejadian.
‘’Walaupun dusun yang
lain juga hampir sama, tapi Dukuh Legetang sudah terlalu parah, terutama
maksiat-maksiat masalah seks bebas,’’ kata Toyib.
Dari 351 korban jiwa,
terdapat 19 orang yang berasal dari luar Dukuh Legetang. Sementara itu, masih
ada dua orang warga asli Legetang yang selamat dari bencana tersebut.
‘’Yang hidup cuma
disisakan dua sama Allah, itu perempuan semua. Mungkin disisakan dua biar untuk
sejarah keadaan desa sini, tapi sekarang sudah meninggal,’’ imbuhnya.
Masyarakat sekitar
terheran-heran. Seandainya Gunung Pengamun-amun sekedar longsor, maka longsoran
itu pasti hanya akan menimpa lokasi di bawahnya. Akan tetapi kejadian ini jelas
bukan longsornya gunung. Antara Dukuh Legetang dan Gunung Pengamun-amun
terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Namun sungai dan
jurang itu sama sekali tidak terkena longsoran. Jadi kesimpulannya, potongan
gunung itu malam tadi terangkat dan jatuh menimpa dukuh Legetang.
Siapa yang mampu
mengangkat separo gunung itu kalau bukan Allah Yang Maha Kuasa?
Quote:
Dan apabila
gunung-gunung diterbangkan,” (QS. at-Takwir: 3).
Untuk memperingati
kejadian itu, pemerintah setempat mendirikan sebuah tugu yang hari ini masih
bisa dilihat siapa pun.
Ditugu tersebut ditulis
dengan plat logam:
Quote:
“TUGU PERINGATAN ATAS
TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG
SERTA 19 ORANG TAMU DARI
LAIN-LAIN DESA
SEBAGAI AKIBAT
LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN
PADA TG. 16/17-4-1955″
Salah seorang saksi
tragedi Legetang, Suhuri warga Pekasiran RT 03/04 yang kini berusia sekitar 72
tahun mengatakan, musibah terjadi malam hari pukul 23.00 saat musim hujan.
”Saya dan beberapa teman malam itu tidur di masjid. Saya baru dengar kabar
gunung Pengamunamun longsor jam tiga pagi,” katanya. Suhuri mengaku lemas
seketika begitu mendengar kabar tersebut, karena kakak kandungnya, Ahmad Ahyar,
bersama istri dan 6 anaknya tinggal di dusun Legetang. Namun Suhuri maupun
keluarganya dan warga lain tak berani langsung ke dusun yang berjarak sekitar
800 meter dari pusat desa Pekasiran, karena beredar kabar tanah dari lereng
gunung Pengamunamun masih terus bergerak.
Lenyapnya desa Legetang
dan penghuninya juga menyimpan misteri, karena Suhuri dan beberapa warga Desa
Pekasiran lain seusianya yang kini masih hidup mengatakan, antara kaki gunung
sampai perbatasan kawasan pemukiman di dusun itu sama sekali tidak tertimbun,
padahal jaraknya beberapa ratus meter. ”Longsoran tanah itu seperti terbang
dari lereng gunung dan jatuh tepat di pemukiman. Sangat aneh”, kata Suhuri
sembari menjelaskan, gejala lereng gunung akan longsor sudak diketahui 70 hari
sebelum kejadian. Para pencari rumput pakan ternak dan kayu bakar untuk
mengasap tembakau rajangan di samping untuk memasak, melihat ada retakan
memanjang dan cukup dalam di tempat itu. Tapi tanda-tanda tadi tak membuat
orang waspada, meski sering jadi bahan obrolan di Legetang. Orang baru
menghubung-hubungkan soal retakan di gunung itu setelah Legetang kiamat,”
katanya.
Waktu itu semua orang
tercengang dan suasana mencekam melihat seluruh kawasan dusun Legetang terkubur
longsoran tanah. Tak ada sedikit pun bagian rumah yang kelihatan. Tanda-tanda
kehidupan penghuninya juga tak ada, kenang Suhuri.
Sungguh kisah
tenggelamnya dukuh Legetang ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa azab
Allah swt yang seketika itu tak hanya terjadi di masa lampau, di masa para
nabi, tetapi azab itu pun bisa menimpa kita di zaman ini. Bahwa sangat mudah
bagi Allah swt untuk mengazab manusia-manusia lalim dan durjana dalam hitungan
detik. Andaikan di muka bumi ini tak ada lagi hamba-hamba-NYa yang bermunajat
di tengah malam menghiba ampunan-Nya, mungkin dunia ini sudah kiamat.
Jika Anda dari daerah
Dieng menuju ke arah (bekas) dukuh Legatang maka akan melewati sebuah desa
bernama Pakisan. Sepanjang jalan itu Anda mungkin akan heran melihat
wanita-wanitanya banyak yang memakai jilbab panjang dan atau cadar. Memang
sejak dulu masyarakat Pakisan itu masyarakat yang agamis, bertolak belakang
dengan dukuh Legetang, tetangga desanya yang penuh dengan kemaksiatan. Ketika
kajian triwulan Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jamaah Kabupaten Banjarnegara
bertempat di Pakisan, maka masyarakat Pakisan berduyun-duyun ke masjid untuk
mendengarkan kajian dari Ustadz Muhammad As Sewed. Ya, hampir semua masyarakat
Pakisan aktif mengikuti kajian dan da’wah.
Setiap kejadian dan musibah yang dihadirkan didepan kita,itu mengajarkan kepada kita bahwa kita harus benar-benar tahu dan meyakinkan sebenarnya fungsi dan untuk apa kita diciptakan didunia ini. sekali lagi dari setiap kejadian dan musibah itu adalah sebuah peringatan bagi seluruh umat manusia
Alhamdulillah.
Wallahu a’lam bisshawab.
Foto : Ragam Sumber
Disadur melalui :
https://m.kaskus.co.id/thread/56d540a992523307168b4576/dukuh-legetang-desa-yang-hilang-dalam-semalam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar